Selasa, 03 Maret 2015

Wisata Tambang Batuhijau


Artikel lama tahun 2009 yang akhirnya dimuat di Warta Geologi (Badan Geologi) Edisi Maret 2010 Vol. 5 No. 1
Oleh:
Budi Brahmantyo
Kawasan tambang selalu berkesan buruk. Citra tambang dengan bentang alam yang porak poranda karena penggalian, truk-truk besar yang berlalu-lalang, debu berterbangan kesana kemari, lahan panas dan gersang, akan segera menyergap alam pikiran kita. Memang, baik dalam skala kecil maupun besar, begitulah suasana kawasan tambang. Sangat tidak menarik untuk dilihat. Jadi apakah mungkin kawasan tambang menjadi destinasi wisata?
Begitu pulalah apa yang ada dalam pikiran saya ketika berkesempatan diundang ke tambang tembaga PT Newmont Nusa Tenggara (PT NNT) di Batuhijau, Sumbawa bagian barat. Dalam kapal cepat yang membawa saya melintasi Selat Alas yang memisahkan Pulau Lombok dengan Pulau Sumbawa, saya duduk tenang sambil memperhatikan video yang mulai menayangkan prosedur naik kapal cepat itu. Pelabuhan Telongelong di pantai timur Lombok terlihat mulai menjauh.
“Kapal akan menambah kecepatan hingga 25 knot di tengah-tengah selat,” begitu penjelasan di video, “anda akan merasakan sedikit goncangan pada kecepatan itu. Tidak perlu khawatir karena hal itu adalah normal….”
Di tengah Selat Alas, kapal mulai bergoncang keras. Inikah yang dikatakan “sedikit” itu? Beberapa penumpang segera meraih kantung kertas yang tersedia di sandaran kursi di depan. Pada goncangan berikut, seorang penumpang mulai menunduk dengan kantung kertas menutupi mulutnya. Muntah.
Lebih ke tengah selat, kapal terasa terangkat berkali-kali kemudian langsung terhempas lembah gelombang. Protes batin kembali terulang. Inikah yang dikatakan “sedikit bergoncang” itu? “It’s rock’n roll!” komentar penumpang bule muda sambil tersenyum kecut. Tangannya memegang erat pegangan kursi ketika kapal terhempas gelombang untuk kesekian kalinya.
Akhirnya 45 menit berlalu. Dari jendela kapal telah terlihat bukit-bukit terjal yang tersusun dari batuan breksi gunung api. Pulau Sumbawa! Kapal dengan tenang merapat di Pelabuhan Benete. “Selama bulan Mei ini gelombang Selat Alas memang sedang tinggi,” kata Pak Simbar, urang Bandung pegawai PT NNT yang menjemput. Sesama urang Bandung bertemu, akhirnya sepanjang perjalanan ke kawasan tambang Batuhijau kami asyik berbincang menggunakan Bahasa Sunda.
Batuhijau
Tambang Batuhijau di Pulau Sumbawa adalah tambang tembaga terbesar selama ini di Kepulauan Nusa Tenggara yang dulu dikenal pula sebagai Kepulauan Sunda Kecil. Pada mulanya ketika eksplorasi awal dilakukan pada tahun 1980-an, PT NNT yang sebenarnya lebih ahli dalam penambangan emas, tentu berharap bukit terobosan magma purba yang dieksplorasi akan menghasilkan urat-urat emas.
Dalam eksplorasi itu, para geolog yang menyusuri satu persatu sungai-sungai yang menghulu ke puncak bukit sedikit heran ketika menemukan endapan-endapan travertin berwarna kehijauan. Malachite, itulah nama mineral yang menyusun endapan kehijauan itu. Mineral itu berkomposisi Cu2(CO3)(OH)2 yang berarti endapan yang terbentuk berasal dari air karbonat yang mengandung tembaga. Temuan mineral malachite yang berwarna hijau itulah yang kemudian membuat bukit tersebut dikenal sekarang sebagai Batuhijau.
Eksplorasi ke arah puncak semakin menggairahkan para geolog bahwa bukit tersebut justru adalah bukit berbijih tembaga ketika dijumpai pula tumbuhan copper fern. Tumbuhan pakis itu menjadi penciri permukaan bahwa tanah tempat tumbuhnya mengandung tembaga. Apalagi tempat dimana pakis tembaga itu tumbuh, terkonsentrasi di suatu tempat yang relatif gundul di antara hutan lebat.
Pada 1990-an, setelah rangkaian penyelidikan mulai dari analisis tanah dan batu, pemetaan geologis, pendugaan geofisika hingga pengeboran, akhirnya menunjukkan bahwa bukit berelevasi asal 460 m di atas muka laut, menjadi sumber tambang tembaga yang cukup kaya. Perhitungan cadangan total diperkirakan mencapai kira-kira 1,1 milyar ton tembaga berkadar 0,525% dan 0,37 gram/ton emas. Jika volume itu telah tercapai, bukit yang tadinya berketinggian 460 m di atas muka laut akan berubah menjadi lubang dalam menganga hingga 450 m di bawah muka laut. Begitulah tambang, pengubah bentang alam yang luar biasa!
Di luar dari “kerusakan” bentang alam yang terjadi akibat penambangan, PT NNT berusaha dengan maksimal mengurangi dampak lingkungan yang merugikan. Reklamasi berjalan dengan cukup efektif. Lahan tambang lima tahun lalu sekarang telah kembali hijau menghutan. Begitu pula disain tambangnya mencegah aliran permukaan yang berasal dari bukit sekitarnya tidak masuk ke dalam tambang atau melaluinya karena dicegat dengan adanya irigasi yang mengelilingi kawasan tambang.
Air bersih ini dialirkan sedemikian rupa kembali ke sungai-sungai alam dan dapat dimanfaatkan oleh penduduk setempat. Sementara aliran tailing, yaitu bubuk batu setelah bijih logamnya dipisahkan, dicampur dengan air laut, dialirkan melalui pipa, dan dibuang di dasar laut pada kedalaman 150 m di bawah muka laut sehingga tidak mencemari bagian laut yang menjadi ekosistem hayatinya.
Semua proses penambangan itu dengan sangat jelas dapat kita nikmati di Batuhijau. Manajemen PT NNT mempersilakan kunjungan wisata tambang. Tentu dengan memohon ijin sebelumnya. Tadinya saya berpikir agar tidak mengganggu aktivitas tambang, perlu dibuat jalur khusus. Rupanya jalur itu tidak perlu. Selama mengikuti aturan di kawasan tambang, kita dapat pergi kemana saja di kawasan tambang. Maka dengan helmet, rompi berpendar, kaca mata pelindung dan sepatu keselamatan, pengunjung diajak keliling mengamati semua aktivitas penambangan.
Kawasan lubang terbuka (open pit) menjadi destinasi wisata tambang yang paling menarik. Lubang besar menganga itu berdiameter hampir 2 km dengan jalan spiral di sekelilingnya dimanahaul truck hilir-mudik naik-turun mengangkut bebatuan hingga dasar lubang yang sekarang berada 105 m di bawah muka laut.
Semua aktivitas itu dapat dengan tenang kita saksikan dari satu platform yang memang disediakan khusus oleh PT NNT sebagai tempat pengamatan. Memandang dari sini, truk-truk raksasa itu terlihat kecil bagaikan mainan anak-anak, karena begitu besar dan dalamnya lubang tambang. Sebelum kami, di platform telah berjejer para pelajar SMP putra-putri pegawai PT NNT yang sedang melakukan ekskursi dan mendapat penjelasan dari ahli Geologi PT NNT tentang pernak-pernik tambang Batuhijau.
Selain tambangnya sendiri, sistem tambang lainnya beserta semua fasilitasnya menarik juga untuk dinikmati. Bagaimana bebatuan diolah di pabrik pengolahan untuk memisahkan antara batu dan bijihnya menjadi atraksi sendiri.
Di sini, Ir. Johan Arif, ahli Geologi yang memandu saya, dengan berapi-api mengatakan bahwa pemisahan bijih dari batuan sama sekali tidak menggunakan zat kimia yang dapat menghasilkan bahan pencemaran seperti yang semula dikira banyak orang. Untuk katalisator, pemisahan hanya menggunakan alkohol saja. Jadi tailing yang dibuang ke laut dalam melalui pipa, betul-betul hanya bubuk batu dengan sedikit kandungan alkohol saja. Itupun dengan pengukuran dan evaluasi lingkungan yang ketat dan terus menerus. Saya hanya tersenyum saja bagaimana ia merasa geregetan karena pihak tambang selalu dituduh sebagai pencemar lingkungan yang tidak bertanggung jawab.
Atraksi yang tidak kalah menarik adalah mencari haul truck yang sedang parkir untuk berfoto di sampingnya. Mengapa? Karena inilah truk raksasa. Diamater bannya saja mencapai 3 meter. Ingin tahu harga satu ban buatan Amerika ini? Bisa mencapai Rp. 150 juta! Menariknya, di Batuhijau salah seorang pengemudi haul truck adalah seorang perempuan asli Sumbawa.
Akhirnya wisata tambang diakhiri di luar kawasan tambang yang dikenal sebagai wisata lingkar tambang. Pantai-pantai berpasir putih di Maluk dan Sekongkang menjadi pilihan. Dengan suasana tenang yang tidak terlalu ramai oleh wisatawan, kita bisa bersantai dengan fasilitas restoran dan cottage. Ikan bakar pun segera tersaji dengan es kelapa muda.
Kunjungan ke tambang Batuhijau benar-benar kunjungan wisata alternatif yang berbeda. Rasanya kawasan tambang dimana pun mestinya bisa didisain sebagai destinasi wisata khusus. Bekas tambang batubara di Sawahlunto, Sumatera Barat misalnya, saat ini sedang didisain sebagai destinasi wisata tambang. Dalam skala kecil, satu tambang galian batu andesit di Gunung Masoro, Lagadar, selatan Kota Cimahi, telah juga menjadi destinasi wisata tambang di sekitar Bandung.
Jadi di balik citra kawasan tambang yang berkonotasi merusak, wisata tambang bisa menjadi penyeimbang bahwa ada pengetahuan bermanfaat sekaligus menyenangkan yang dapat diambil dari kawasan tambang.
Karst Jereweh: Geowisata Sekitar Batuhijau
Selain kawasan tambang Batuhijau sendiri, di sekitarnya terdapat beberapa destinasi wisata yang dapat dikembangkan. Selain kawasan pantai pada teluk yang cukup tenang, tujuan lain bisa ditempuh ke arah utara menuju kawasan karst Jereweh.
Karst Jereweh memang tidak berkembang seperti kawasan karst dengan kekayaan gua dan sungai bawah tanah seperti di Gunungsewu Jawa Tengah, Maros-Pangkep Sulawesi Selatan, atau bahkan Cijulang-Pangandaran Jawa Barat. Tetapi sebagaimana kawasan karst lain, karst Jereweh mengandung fenomena karst pada umumnya: gua, sungai bawah tanah, bukit-bukit karst yang unik, lembah sinkhole dengan danaunya yang jernih beserta air terjunnya.
Bagaimana pun untuk Sumbawa bagian barat, potensi itu menjadi sangat langka. Kelangkaan suatu objek adalah salah satu daya tarik pariwisata. Jadi jika dikemas dan disajikan dengan baik, apalagi dengan cerita interpretasi yang memikat, kawasan karst Jereweh bisa menjadi destinasi wisata yang potensial.
Ditemani oleh Pak Nanang, fotografer handal yang bekerja di Bagian Humas dan Lingkungan PT NNT, menjelajahlah kami memasuki satu dua gua di Jereweh. Gua-guanya umumnya gua fosil, yaitu gua yang tidak aktif lagi sebagai aliran bawah tanah. Namun demikian, bentukan-bentukan stalaktit-stalagmit sekalipun tidak begitu berlimpah, cukup menarik, apalagi di bawah cahaya lilin-lilin yang dipasang di setiap legokan batu kemudian dipotret dengan kecepatan rendah. Hasil jepretan dan kreasi pak Nanang menjadikan foto di dalam gua sebagai karya seni fotografi yang memukau ***
Penulis adalah staf di KK Geologi Terapan, FITB, ITB; Kepala Pusat Pengembangan dan Perencanaan Pariwisata (P-P2Par) ITB; anggota IAGI dan aktif di KRCB (Kelompok Riset Cekungan Bandung).
Catatan:
foto 1 tambang dan logo PT NNT diunduh dari www.newmont.co.id; peta Lombok-Sumbawa dari www.datametallogenica.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar